Mengenai permasalahan ini, para
ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama: Udh-hiyah (qurban) tidak boleh
digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Alasan dari pendapat
pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang
tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan dalam rangka
mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban mensyukuri nikmat
hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul
Adha).[1]
Al Haitami –salah seorang
ulama Syafi’iyah- mengatakan, “Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk
qurban dan ‘aqiqah sekaligus maka keduanya sama-sama tidak teranggap. Inilah
yang lebih tepat karena maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.”[2]
Ibnu Hajar Al Haitami Al
Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab
kami sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan
qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah
dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya, pen). Begitu
pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban)
sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak
yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah
dilaksanakan untuk mendoakannya.”[3]
Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat
ini, boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya.
Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat
Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah.
Al Hasan Al Bashri
mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban, maka qurban
tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan,
“Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.”[4]
Al Bahuti –seorang ulama
Hambali- mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan
dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya
bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah sekaligus dengan
niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana
jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan mandi jum’at
sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.”[5]
Pendapat ini juga dipilih
oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau
mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu
sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban
itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.
Sebagian mereka yang
berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu
diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak
disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga
langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.”[6] Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika
qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah.
Jalan Keluar dari Masalah
Syaikh Muhammad bin Sholih
Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban)
dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak?
Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama
berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak,
kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan
aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula
jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak
perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua
ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang
sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya.
Akan tetapi, saya sendiri
berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan
dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah
beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan
dua kambing (jika anaknya laki-laki).”[8]
Kesimpulan
- Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama
yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak
diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan
qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya.
Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang
ada.
- Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka
sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban.
- Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya
laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus
laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing
(bagi anak perempuan).
- Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka
yang lebih didahulukan adalah ibadah udh-hiyah (qurban) karena waktunya
bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan
rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.
Wallahu a’lam bish showab.
Sumber : https://rumaysho.com/635-bolehkah-satu-sembelihan-untuk-qurban-dan-aqiqah.html
dengan editing seperlunya
[1] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al
Kuwaitiyyah, 2/1526, Multaqo Ahlul Hadits.
[2] Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj,
41/172, Mawqi’ Al Islam.
[3] Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro,
9/420, Mawqi’ Al Islam
[4] Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah,
5/116, Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, 1409 H.
[5] Syarh Muntahal Irodaat,
4/146, Mawqi’ Al Islam.
[6] Fatawa wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/136,
Asy Syamilah
[8] Majmu’ Fatawa wa Rosail Al
‘Utsaimin, 25/287-288, Darul Wathon-Dar Ats Tsaroya, cetakan
terakhir, tahun 1413 H.
Mengenai permasalahan ini, para
ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama: Udh-hiyah (qurban) tidak boleh
digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Alasan dari pendapat
pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang
tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan dalam rangka
mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban mensyukuri nikmat
hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul
Adha).[1]
Al Haitami –salah seorang
ulama Syafi’iyah- mengatakan, “Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk
qurban dan ‘aqiqah sekaligus maka keduanya sama-sama tidak teranggap. Inilah
yang lebih tepat karena maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.”[2]
Ibnu Hajar Al Haitami Al
Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab
kami sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan
qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah
dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya, pen). Begitu
pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban)
sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak
yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah
dilaksanakan untuk mendoakannya.”[3]
Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat
ini, boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya.
Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat
Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah.
Al Hasan Al Bashri
mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban, maka qurban
tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan,
“Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.”[4]
Al Bahuti –seorang ulama
Hambali- mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan
dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya
bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah sekaligus dengan
niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana
jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan mandi jum’at
sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.”[5]
Pendapat ini juga dipilih
oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau
mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu
sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban
itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.
Sebagian mereka yang
berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu
diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak
disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga
langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.”[6] Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika
qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah.
Jalan Keluar dari Masalah
Syaikh Muhammad bin Sholih
Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban)
dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak?
Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama
berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak,
kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan
aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula
jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak
perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua
ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang
sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya.
Akan tetapi, saya sendiri
berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan
dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah
beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan
dua kambing (jika anaknya laki-laki).”[8]
Kesimpulan
- Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada.
- Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban.
- Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan).
- Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih didahulukan adalah ibadah udh-hiyah (qurban) karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.
Wallahu a’lam bish showab.
Sumber : https://rumaysho.com/635-bolehkah-satu-sembelihan-untuk-qurban-dan-aqiqah.html
dengan editing seperlunya
[1] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al
Kuwaitiyyah, 2/1526, Multaqo Ahlul Hadits.
[2] Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj,
41/172, Mawqi’ Al Islam.
[3] Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro,
9/420, Mawqi’ Al Islam
[4] Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah,
5/116, Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, 1409 H.
[5] Syarh Muntahal Irodaat,
4/146, Mawqi’ Al Islam.
[6] Fatawa wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/136,
Asy Syamilah
[8] Majmu’ Fatawa wa Rosail Al
‘Utsaimin, 25/287-288, Darul Wathon-Dar Ats Tsaroya, cetakan
terakhir, tahun 1413 H.