Minggu, 11 Maret 2018

BEBERAPA HAL TERKAIT DENGAN AQIQAH

1. MENGAQIQAHI DIRI SENDIRI
Pendapat yang menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh si anak sendiri ketika ia sudah dewasa (yang mana ia dahulu belum diaqiqahi), maka jika ini berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat. Alasannya, karena riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap jalan. Imam As-Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyyah yakni kitab Kifayatul Akhyar [hlm. 705]. Wallahu a’lam.
2. APAKAH DISUNNAHKAN AQIQAH PADA BAYI YANG KEGUGURAN?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin –rahimahullah– pernah ditanya, “Seorang bayi yang dilahirkan dan ketika ia lahir langsung meninggal dunia, apakah diwajibkan baginya aqiqah?”
Beliau menjawab, “Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam kandungan sempurna 4 bulan, ia tetap diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi yang telah mencapai usia 4 bulan dalam kandungan sudah ditiupkan ruh dan ia akan dibangkitkan pada hari kiamat.”[Liqo-at Al-Bab Al-Maftuh, kaset 2, No. 11]
Dalam pertemuan yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika seorang anak mati setelah ia lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?”
Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran, ia tetap diaqiqahi pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan ruh saat itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah seorang anak akan memberi syafa’at pada kedua orang tuanya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Alasannya, karena aqiqah barulah disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi, barangsiapa yang dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai kemudahan, maka hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak mampu, maka ia tidaklah dipaksa.”
Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban beliau, “Iya diberi nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu bila genap 4 bulan dalam kandungan.”[Liqo-at Al-Bab Al-Maftuh, kaset 14, No. 42]
3. DIANJURKAN DAGING AQIQAH UNTUK DIMASAK
Imam An-Nawawi As-Syafi’i menyatakan dalam matan Minhajuth Tholibin, “(Daging aqiqah) disunnahkan untuk dimasak (sebelum dibagikan).”[9] Dengan dimasaknya sembelihan aqiqah ini menunjukkan seseorang itu berbuat baik dengan bertambahnya nikmat dari Allah. Hal ini juga menunjukkan akhlaq mulia dan tanda kedermawanan.[Baca Shahih Fiqh Sunnah 2/384]
Penulis Kifayatul Akhyar, Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah, menjelaskan, “Hendaklah hasil sembelihan hewan aqiqah tidak disedekahkan mentahan, namun dalam keadaan sudah dimasak. Inilah yang lebih tepat. Lebih baik lagi jika dihidangkan dengan bumbu manis menurut pendapat yang lebih tepat.”[Kifayatul Akhyar, hal. 706]
4. MENGUNDANG MAKAN-MAKAN AQIQAH
Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih afdhol hasil sembelihan aqiqah tersebut yang dikirim kepada orang miskin. Inilah pendapat dari Imam Asy Syafi’i. Namun jika mesti mengundang orang untuk menikmatinya (di rumah), itu juga tidak mengapa.” [Kifayatul Akhyar, hal. 706]
Jadi, dibolehkan jika seseorang mengundang orang lain untuk menyantap hasil sembelihan aqiqah dan dinikmati sebagaimana pada walimahan ketika nikah.
5. TIDAK MENGAPA TULANG SEMBELIHAN AQIQAH DIPECAH
Sebagian ulama memang melarang hal ini karena jika tulang itu tidak dihancurkan, dianggap bahwa tulang-tulang si anak pun nantinya akan selamat. [Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 706]
Di antara ulama Syafi’iyyah, As-Syarbini rahimahullah mengatakan, “Tidak dimakruhkan jika daging sembelihan aqiqah dipecah karena tidak ada dalil yang melarang hal ini.” [Mughnil Muhtaj, hal. 392] Intinya, tidak terlarang memecah tulang hasil sembelihan aqiqah karena tidak ada dalil shahih yang melarang hal ini. [Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384]
6. TIDAK PERLU MENGUSAPKAN DARAH HEWAN AQIQAH PADA BAYI
Ini adalah perbuatan Jahiliyah yang terlarang dilakukan di saat Islam sudah datang.
Dari Buraidah, ia berkata,
كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِالْإِسْلَامِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami kelahiran anak, maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala anaknya tersebut dengan darah sembelihan. Kemudian tatkala Allah mendatangkan Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan menggundul kepalanya serta melumuri kepalanya dengan za’faran.” (HR. Abu Dawud 2843. Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)


[9] Minhajuth Tholibin wa ‘Umdatul Muftin, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, hal. 538, Darul Minhaj, cetakan pertama, 1426 H.

Sumber : 
https://rumaysho.com/1091-hadiah-di-hari-lahir-7-waktu-pelaksanaan-aqiqah.html  dengan editing seperlunya.