Pendapat yang
menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh si anak sendiri ketika ia sudah
dewasa (yang mana ia dahulu belum diaqiqahi), maka jika ini berdalil dengan
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat. Alasannya, karena
riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap jalan. Imam As-Syafi’i
sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah
satu kitab fiqih Syafi’iyyah yakni kitab Kifayatul Akhyar [hlm. 705]. Wallahu a’lam.
2. APAKAH DISUNNAHKAN AQIQAH PADA BAYI YANG KEGUGURAN?
Syaikh Muhammad
bin Sholih Al-‘Utsaimin –rahimahullah– pernah
ditanya, “Seorang bayi yang dilahirkan dan ketika ia lahir langsung meninggal
dunia, apakah diwajibkan baginya aqiqah?”
Beliau menjawab,
“Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam kandungan sempurna 4 bulan, ia tetap
diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi yang telah mencapai usia 4 bulan dalam
kandungan sudah ditiupkan ruh dan ia akan dibangkitkan pada hari kiamat.”[Liqo-at Al-Bab Al-Maftuh, kaset 2, No. 11]
Dalam pertemuan
yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika seorang anak mati setelah ia
lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?”
Jawabannya, “Jika
anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran, ia tetap diaqiqahi pada
hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan ruh saat itu,
maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah
seorang anak akan memberi syafa’at pada kedua orang tuanya. Namun sebagian
ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka
gugurlah aqiqah. Alasannya, karena aqiqah barulah disyariatkan pada hari
ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak tersebut sudah mati
sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi, barangsiapa yang
dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai kemudahan, maka
hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak mampu, maka ia tidaklah
dipaksa.”
Si penanya
bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban beliau, “Iya diberi
nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu bila genap 4 bulan dalam
kandungan.”[Liqo-at Al-Bab Al-Maftuh, kaset 14, No. 42]
3. DIANJURKAN DAGING AQIQAH UNTUK DIMASAK
Imam An-Nawawi As-Syafi’i
menyatakan dalam matan Minhajuth Tholibin,
“(Daging aqiqah) disunnahkan untuk dimasak (sebelum dibagikan).”[9] Dengan
dimasaknya sembelihan aqiqah ini menunjukkan seseorang itu berbuat baik dengan
bertambahnya nikmat dari Allah. Hal ini juga menunjukkan akhlaq mulia dan tanda
kedermawanan.[Baca Shahih Fiqh Sunnah 2/384]
Penulis Kifayatul
Akhyar, Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah,
menjelaskan, “Hendaklah hasil sembelihan hewan aqiqah tidak disedekahkan
mentahan, namun dalam keadaan sudah dimasak. Inilah yang lebih tepat. Lebih
baik lagi jika dihidangkan dengan bumbu manis menurut pendapat yang lebih
tepat.”[Kifayatul Akhyar, hal. 706]
4. MENGUNDANG MAKAN-MAKAN AQIQAH
Taqiyuddin Abu
Bakr rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih afdhol hasil
sembelihan aqiqah tersebut yang dikirim kepada orang miskin. Inilah pendapat
dari Imam Asy Syafi’i. Namun jika mesti mengundang orang untuk menikmatinya (di
rumah), itu juga tidak mengapa.” [Kifayatul Akhyar, hal.
706]
Jadi, dibolehkan
jika seseorang mengundang orang lain untuk menyantap hasil sembelihan aqiqah
dan dinikmati sebagaimana pada walimahan ketika nikah.
5. TIDAK MENGAPA TULANG SEMBELIHAN AQIQAH DIPECAH
Sebagian ulama
memang melarang hal ini karena jika tulang itu tidak dihancurkan, dianggap
bahwa tulang-tulang si anak pun nantinya akan selamat. [Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 706]
Di antara ulama
Syafi’iyyah, As-Syarbini rahimahullah mengatakan,
“Tidak dimakruhkan jika daging sembelihan aqiqah dipecah karena tidak ada dalil
yang melarang hal ini.” [Mughnil Muhtaj, hal. 392] Intinya, tidak terlarang
memecah tulang hasil sembelihan aqiqah karena tidak ada dalil shahih yang
melarang hal ini. [Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384]
6.
TIDAK PERLU MENGUSAPKAN DARAH HEWAN AQIQAH PADA BAYI
Ini adalah perbuatan Jahiliyah yang terlarang dilakukan di saat Islam sudah datang.
Ini adalah perbuatan Jahiliyah yang terlarang dilakukan di saat Islam sudah datang.
Dari Buraidah, ia
berkata,
كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِالْإِسْلَامِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Dahulu kami pada
masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami kelahiran anak, maka ia
menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala anaknya tersebut dengan darah sembelihan.
Kemudian tatkala Allah mendatangkan Islam maka kami menyembelih seekor kambing
dan menggundul kepalanya serta melumuri kepalanya dengan za’faran.” (HR. Abu Dawud
2843. Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
[9] Minhajuth
Tholibin wa ‘Umdatul Muftin, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, hal. 538,
Darul Minhaj, cetakan pertama, 1426 H.
Sumber : https://rumaysho.com/1091-hadiah-di-hari-lahir-7-waktu-pelaksanaan-aqiqah.html dengan editing seperlunya.
Sumber : https://rumaysho.com/1091-hadiah-di-hari-lahir-7-waktu-pelaksanaan-aqiqah.html