Minggu, 11 Maret 2018

HUKUM AQIQAH SESUDAH HARI KE-7

Para fuqoha' berbeda pandangan dalam masalah melaksanakan aqiqah sesudah hari ke-7, kepada tiga pendapat:

1. PENDAPAT PERTAMA
Hukum: Tidak boleh menyembelih aqiqah setelah lewat hari ketujuh.
Ulama: ini yang masyhur dari madzhab Imam Malik, dan ini adalah pendapat yang dipilih Al-Amir As-Shon’any dan Al-Mubarkafury dan penulis Aunul Ma’bud[1].
Dalil: hadits-hadits yang menyatakan bahwa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh yang mengandung mafhum mukholafah bahwa tidak boleh setelah hari itu.
Nash ulama:   Berkata Al-Mubarkafury: yang dhohir bahwa aqiqah telah ditentukan waktunya pada hari ketujuh, maka pendapat  Malik lah yang tampak (rajih), wallohu Ta’ala A’lam. Adapun riwayat hari ketujuh yang kedua (hari ke-14 ) dan hari ketujuh yang ketiga (hari ke-21 ), adalah riwayat yang dhoif[2].

2. PENDAPAT KEDUA
Hukum: boleh menyembelih aqiqah pada hari ketujuh yang kedua (hari ke- 14) dan hari ketujuh yang ketiga (hari ke-21).
Ulama: dinukil dari Aisyah ra dan Ishaq dan ini adalah satu pendapat dalam Madzhab Syafi’y dan satu riwayat ibnu Habib dari Imam Malik. Adapun Al-Hafidh Ibnu Abdil Barr, maka beliau menguatkan bahwa hanya diperbolehkan pada hari ketujuh dan hari ketujuh yang kedua (hari ke-14), sebagaimana diriwayatkan Ibnu Wahb dari Malik[3].Dan pendapat kedua ini juga satu riwayat dari Imam Ahmad.

Nash ulama: Berkata Shalih bin Ahmad: “Ayahku berkata tentang aqiqah bahwa itu dilakukan pada hari ke-7, jika tidak bisa maka pada hari ke-14, jika tidak bisa maka pada hari ke-21.”[4].
Berkata Imam Tirmidzy setelah membawakan hadits Samuroh: (Pendapat ) inilah yang diamalkan para ulama dimana mereka menyukai penyembelihan aqiqah anak dilakukan pada hari ke-7, jika tidak bisa maka pada hari ke-14, dan jika tidak bisa maka pada hari ke-21.”[5].
Berkata Atho’: “Jika mereka tidak dapat melaksanakan aqiqah pada hari ke-7 maka aku suka jika diakhirkan ke hari kelipatan 7 yang lain.”
Berkata Ibnu Wahb dari Malikiyah: “Tidak mengapa dilakukan aqiqah pada hari (kelipatan) 7 yang ke-3.”[6].

Dalil mereka: hadits diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dengan sanadnya:
عن عبد الله ابن بريدة عن أبيه عن النبي ص قال: العقيقة تذبح لسبع ولأربع عشرة ولإحدى وعشرين  (رواه البيهقي)
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya dari Naby saw. bersabda: “Aqiqah itu disembelih pada hari ke-7 atau ke-14 atau ke-21.” (HR.Baihaqy)[7].
Al-Hafidh Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa Thabrany mengeluarkan hadits ini dari riwayat Ismail bin Muslim dari Abdullah bin Buraidah, namun Ismail dhoif dan bersendiri sebagaimana disebutkan oleh Thabrany[8]. Maka hadits ini dhoif sebagaimana dikatakan Syaikh Albany[9]. Akan tetapi hadits ini juga datang secara mauquf dari Aisyah ra. sebagaimana diriwayatkan Al-Hakim dalam Mustadrok dengan sanadnya ;
عن عطاء عن أم كرز وأبي كرز قالا : نذرت امرأة من آل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن نحرت جزورا . فقالت عائشة رضي الله عنها : لا بل السنة أفضل عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة تقطع جُدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق وليكن ذلك يوم السابع فإن لم يكن ففي أربعة عشر فإن لم يكن ففي إحدى وعشرين  (رواه الحاكم وقال: صحيح الإسناد ,ووافقه الذهبي , 445)
Dari Atho’ dari Umm Kurz dan Aby Kurz, keduanya berkata: “Seorang perempuan dari keluarga Abdurrahman bin Abi Bakr bernadzar bahwa jika istri Abdurrahman melahirkan anak (dengan selamat) ia akan menyambelih unta. Maka Aisyah ra. Berkata: ‘Jangan, tetapi yang sesuai Sunnahlah yang afdhol. Yakni untuk anak laki-laki 2 ekor kambing dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing, dipotong-potong  namun tidak dipecahkan tulangnya, sebagian dimakan dan sebagian disedekahkan. Aqiqah tersebut hendaknya dilakukan pada hari ke-7; jika tidak bisa, maka pada hari ke-14; dan jika tidak bisa, maka pada hari ke-21.’” ( HR. Al-Hakim, beliau berkata: “Sanadnya shahih”, dan disepakati oleh Adz-Dzahaby )[10].
Berkata Syaikh Albany: “Semua perawinya tsiqat lagi dikenal karena seluruhnya adalah perawi Imam Muslim selain Ibrahim bin Abdullah (dia adalah As-Sa’dy An-Naysabury dan dia shaduq sebagaimana disebutkan oleh Adz-Dzahaby dalam Al-Mizan) dan selain Abu Abdillah Muhammad bin Yaqub As-Syaibany (ia adalah hafidh kabir mushannif dikenal dengan nama ibnul ahzam, wafat tahun 334 H., biografinya ada dalm At-Tadzkirah 3/76-77). Aku (Albani) berkata: ‘Atas dasar ini, dhohir hadits ini adalah shahih, namun menurutku ia memiliki dua illah[11]. Lalu beliau rahimahullah menyebutkan dua illah tersebut yaitu syudzudz dan inqitho’ serta idraaj.’”

Hujjah pendapat kedua ini adalah bahwa dalam hadits ini bahwa ini adalah perkiraan dan dhahirnya bahwa Aisyah tidak mungkin berpendapat demikian kecuali atas dasar tauqif (mengikuti petunjuk Nabi saw. )[12].

3. PENDAPAT KETIGA
Hukum: boleh kapan saja dilakukan aqiqah setelah lewat hari ke-7 dengan memperhatikan jumlah kelipatan pekan.
Ulama: Ini adalah satu riwayat dalam madzhab Hanbaly, dan merupakan pendapat Abu Abdillah Al-Busyanjy dari kalangan ulama syafi’iyah. Dan dalam pendapat yang mukhtar (terpilih) menurut madzhab Syafi’iy boleh dilakukan kapan pun sesuai kemampuan walau tanpa memperhatikan kelipatan hari atau pekan.

Nash ulama: Berkata Imam Nawawy: “Madzhab kami adalah bahwa aqiqah tidak luput walau pun ditunda dari hari ketujuh, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama di antaranya adalah Aisyah, Atho’ dan Ishaq.”[13]. Disebutkan dalam Kifayatul Akhyar: “dan  pendapat yang terpilih bahwa aqiqah dilakukan sebelum selesai dari nifas; jika telah terlewati maka dilakukan sebelum selesai dari susuan; jika terlewati maka dilakukan sebelum 7 tahun; dan jika terlewati maka dilakukan sebelum baligh.”[14].

Dan ini adalah riwayat lain dalam Madzhab Hanbaly. Berkata Al-Mardawy: “Perhatian, mafhum dari ucapan (jika terlewati), yaitu tidak bisa dilakukan aqiqah pada hari ke-7, (maka pada hari ke-14, jika terlewat maka pada hari ke-21) yakni bahwa jumlah pekan tidak lagi diperhatikan setelah itu, maka boleh dilakukan aqiqah setelah itu kapan saja dikehendaki. Ini adalah satu dari dua pendapat. Dan sekaligus pendapat kebanyakan dari ulama Hanabilah dan dishahihkan oleh Ibnu Razin dalm syarh-nya. Disebutkan dalam Ar-Ri’ayah Al-Kubra: ‘Jika terlewat maka (dilakukan) pada hari ke-21 atau setelahnya. Disebutkan dalam Al-Kafy: jika tertunda dari hari ke-21 maka boleh dilakukan setelahnya, karena telah ada sebabnya.’”[15].
Berkata Syaikh Ibnu Qudamah Al-Maqdisy: “Jika disembelih (aqiqah) sebelumnya atau sesudahnya maka boleh, karena tujuannya yaitu mengadakan sembelihan bisa terjadi. Dan jika melewati hari ke-21 maka bisa dimungkinkan disukai pada kelipatan pekan, sehingga dilakukan pada hari ke-28, jika tidak bisa maka pada hari ke-35. Aatas dasar inilah diqiyaskan kepada hari yang sebelumnya. Dan kemungkinan kedua adalah diperbolehkan (mengadakan aqiqah) pada setiap kesempatan, karena ia merupakan qodho terhadap sesuatu yang luput. Sehingga tidak dibatasi waktunya, seperti qodho udhhiyah dan selainnya.”[16].
Ini juga pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhahiry dan Al-Laits bin Saad dan Muhammad bin Sirin[17].
Berkata Al-Laits: “Dilakukan aqiqah untuk anak yang lahir pada hari ketujuh. Maka tidak mengapa dilakukan aqiqah untuknya setelah (tanggal) itu, dan tidak harus dilakukan aqiqah pada hari kelipatan tujuh.”[18].
Berkata Ibnu Hazm: “Jika tidak dilakukan aqiqah pada hari ketujuh, maka boleh dilakukan setelah itu kapan saja ada kesempatan.”[19].

Kami berpandangan bahwa pendapat ketiga ini –wallohu a’lam adalah yang rajih. Pendapat ini juga merupakan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan Fatwa Lajnah Daimah (No. 19599).
__________________________________________
[1]  Syaikh Al-Muhaddits Al-‘Allamah Abu Abdirrahman Syaroful Haq Al-Azhiem Abady Muhammad Asyrof bin Amir bin Aly bin Haidar As-Shiddiqy rahimahulloh.
[2]  Tuhfatul Ahwadzy  5/98.
[3]  Fathul Malik 7/105, Al-Majmu 8/431, Al-Mughny 9/461.
[4]  Tuhfatul Maudud hal 48, Fathul Bary 12/12.
[5]  Sunan Tirmidzy 4/86.
[6]  Fathul Malik 7/105.
[7]  Sunan Baihaqy 9/303
[8]  Fathul Bary 12/12, Majma Az-zawaid 4/59.
[9] Irwaul Ghalil 4/395.
[10] Al-Mustadrak 4/395.
[11] Irwaul Ghalil 4/395-396.
[12] Al-Mughny 9/461.
[13] Al-Majmu 8/448
[14] Kifayatul Akhyar 534.
[15] Al-Inshaf 4/112,  Al-Furu 3/564.
[16] Al-Mughny 9/461.
[17] Al-Muhalla 6/234-240, Al-Majmu 8/431, Tuhfatul Ahwadzy hal 49-50.
[18] Istidzkar 15/375.
[19] Al-Muhalla 6/234.

Sumber:http://abdulhakimmuhammadmukhlish.blogspot.co.id/2012/10/hukum-aqiqah-setelah-hari-ketujuh_22.html dengan editing seperlunya