1. PENDAPAT PERTAMA
Hukum: Tidak boleh menyembelih aqiqah setelah lewat hari ketujuh.
Ulama: ini yang masyhur dari madzhab Imam Malik, dan ini adalah
pendapat yang dipilih Al-Amir As-Shon’any dan Al-Mubarkafury dan penulis Aunul Ma’bud[1].
Dalil: hadits-hadits yang menyatakan bahwa aqiqah dilakukan
pada hari ketujuh yang mengandung mafhum mukholafah bahwa
tidak boleh setelah hari itu.
Nash ulama: Berkata Al-Mubarkafury: yang dhohir bahwa aqiqah telah ditentukan waktunya pada hari
ketujuh, maka pendapat Malik lah yang tampak (rajih), wallohu Ta’ala
A’lam. Adapun riwayat hari ketujuh yang kedua (hari
ke-14 ) dan hari
ketujuh yang ketiga (hari ke-21 ), adalah riwayat yang dho’if[2].
2. PENDAPAT KEDUA
Hukum: boleh menyembelih aqiqah pada hari ketujuh yang kedua (hari ke- 14) dan hari ketujuh yang ketiga (hari ke-21).
Ulama: dinukil dari A’isyah ra dan Ishaq dan ini adalah
satu pendapat dalam Madzhab Syafi’y dan satu riwayat ibnu Habib dari Imam
Malik. Adapun Al-Hafidh Ibnu Abdil Barr, maka beliau menguatkan bahwa hanya
diperbolehkan pada hari ketujuh dan hari ketujuh yang kedua (hari
ke-14), sebagaimana diriwayatkan Ibnu
Wahb dari Malik[3].Dan pendapat kedua ini juga satu riwayat
dari Imam Ahmad.
Nash ulama: Berkata Shalih bin Ahmad: “Ayahku berkata tentang aqiqah bahwa itu dilakukan pada hari ke-7, jika tidak bisa maka pada hari ke-14, jika tidak bisa maka pada hari ke-21.”[4].
Berkata Imam Tirmidzy setelah membawakan hadits Samuroh: “(Pendapat ) inilah yang diamalkan
para ulama dimana mereka menyukai penyembelihan aqiqah anak dilakukan pada hari
ke-7, jika tidak bisa maka pada hari ke-14, dan jika tidak bisa maka pada hari
ke-21.”[5].
Berkata Atho’: “Jika mereka tidak dapat melaksanakan
aqiqah pada hari ke-7 maka aku suka jika diakhirkan ke hari kelipatan 7 yang
lain.”
Berkata Ibnu Wahb dari Malikiyah: “Tidak mengapa
dilakukan aqiqah pada hari (kelipatan) 7 yang ke-3.”[6].
Dalil mereka: hadits diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dengan sanadnya:
عن عبد الله ابن بريدة عن أبيه عن النبي ص قال:
العقيقة تذبح لسبع ولأربع عشرة ولإحدى وعشرين (رواه البيهقي)
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya dari Naby saw. bersabda:
“Aqiqah itu disembelih pada hari ke-7 atau ke-14 atau ke-21.” (HR.Baihaqy)[7].
Al-Hafidh Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa Thabrany
mengeluarkan hadits ini dari riwayat Ismail bin Muslim dari Abdullah bin
Buraidah, namun Ismail dhoif dan bersendiri sebagaimana disebutkan oleh
Thabrany[8]. Maka hadits ini dhoif sebagaimana
dikatakan Syaikh Albany[9]. Akan tetapi hadits ini juga datang
secara mauquf dari Aisyah ra. sebagaimana diriwayatkan Al-Hakim dalam Mustadrok
dengan sanadnya ;
عن عطاء عن أم كرز وأبي كرز قالا : نذرت امرأة من آل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن نحرت جزورا
. فقالت عائشة رضي الله عنها
: لا بل السنة أفضل عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة تقطع جُدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق وليكن ذلك يوم السابع فإن لم يكن ففي أربعة عشر فإن لم يكن ففي إحدى وعشرين (رواه الحاكم وقال: صحيح الإسناد ,ووافقه الذهبي , 445)
Dari Atho’ dari Umm Kurz dan Aby Kurz, keduanya berkata:
“Seorang perempuan dari keluarga
Abdurrahman bin Abi Bakr bernadzar bahwa
jika istri Abdurrahman melahirkan anak (dengan selamat) ia akan menyambelih
unta. Maka Aisyah ra. Berkata: ‘Jangan, tetapi yang
sesuai Sunnahlah yang afdhol. Yakni untuk anak laki-laki 2 ekor kambing dan
untuk anak perempuan 1 ekor kambing, dipotong-potong namun tidak
dipecahkan tulangnya, sebagian dimakan dan sebagian disedekahkan.
Aqiqah tersebut hendaknya dilakukan
pada hari ke-7; jika tidak bisa, maka pada hari ke-14; dan jika tidak bisa, maka pada hari ke-21.’”
( HR. Al-Hakim, beliau berkata:
“Sanadnya shahih”, dan disepakati oleh Adz-Dzahaby )[10].
Berkata Syaikh Albany: “Semua perawinya tsiqat lagi dikenal karena seluruhnya adalah perawi Imam
Muslim selain Ibrahim bin Abdullah (dia adalah As-Sa’dy An-Naysabury dan dia shaduq sebagaimana
disebutkan oleh Adz-Dzahaby dalam Al-Mizan) dan selain Abu Abdillah Muhammad bin Yaqub As-Syaibany (ia adalah hafidh kabir
mushannif dikenal dengan nama ibnul ahzam, wafat tahun 334 H., biografinya ada dalm At-Tadzkirah 3/76-77).
Aku (Albani) berkata:
‘Atas dasar ini, dhohir hadits ini
adalah shahih, namun menurutku ia
memiliki dua illah[11]. Lalu beliau rahimahullah menyebutkan
dua illah tersebut yaitu syudzudz dan inqitho’ serta
idraaj.’”
Hujjah pendapat kedua ini adalah bahwa dalam hadits ini bahwa ini adalah
perkiraan dan dhahirnya bahwa Aisyah tidak mungkin berpendapat demikian kecuali
atas dasar tauqif (mengikuti petunjuk Nabi saw. )[12].
3. PENDAPAT KETIGA
Hukum: boleh kapan saja dilakukan aqiqah setelah lewat hari ke-7 dengan memperhatikan jumlah kelipatan pekan.
Ulama: Ini adalah satu riwayat dalam madzhab Hanbaly, dan merupakan pendapat Abu Abdillah Al-Busyanjy dari kalangan ulama syafi’iyah. Dan dalam pendapat yang mukhtar (terpilih) menurut madzhab Syafi’iy boleh dilakukan kapan pun sesuai kemampuan walau tanpa memperhatikan kelipatan hari atau pekan.
Nash ulama: Berkata Imam Nawawy: “Madzhab kami adalah bahwa aqiqah tidak luput walau pun ditunda dari hari ketujuh, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama di antaranya adalah Aisyah, Atho’ dan Ishaq.”[13]. Disebutkan dalam Kifayatul Akhyar: “dan pendapat yang terpilih bahwa aqiqah dilakukan sebelum selesai dari nifas; jika telah terlewati maka dilakukan sebelum selesai dari susuan; jika terlewati maka dilakukan sebelum 7 tahun; dan jika terlewati maka dilakukan sebelum baligh.”[14].
Dan ini adalah riwayat lain dalam Madzhab Hanbaly. Berkata Al-Mardawy:
“Perhatian, mafhum dari ucapan (jika
terlewati), yaitu tidak bisa dilakukan aqiqah pada hari ke-7, (maka pada hari ke-14, jika terlewat maka
pada hari ke-21) yakni bahwa jumlah
pekan tidak lagi diperhatikan setelah itu, maka boleh dilakukan aqiqah setelah
itu kapan saja dikehendaki. Ini adalah satu dari dua pendapat. Dan sekaligus pendapat
kebanyakan dari ulama Hanabilah dan dishahihkan oleh Ibnu Razin dalm syarh-nya. Disebutkan dalam Ar-Ri’ayah Al-Kubra: ‘Jika terlewat maka (dilakukan) pada
hari ke-21 atau setelahnya. Disebutkan dalam Al-Kafy: jika tertunda dari hari ke-21 maka boleh dilakukan setelahnya, karena telah ada sebabnya.’”[15].
Berkata Syaikh Ibnu Qudamah Al-Maqdisy:
“Jika disembelih (aqiqah) sebelumnya
atau sesudahnya maka boleh, karena tujuannya yaitu mengadakan sembelihan bisa
terjadi. Dan jika melewati hari ke-21
maka bisa dimungkinkan disukai pada
kelipatan pekan, sehingga dilakukan pada hari ke-28, jika tidak bisa
maka pada hari ke-35.
Aatas dasar inilah diqiyaskan kepada
hari yang sebelumnya. Dan kemungkinan kedua adalah diperbolehkan (mengadakan aqiqah) pada setiap
kesempatan, karena ia merupakan qodho terhadap sesuatu yang
luput. Sehingga tidak dibatasi waktunya, seperti qodho udhhiyah dan
selainnya.”[16].
Ini juga pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhahiry dan Al-Laits bin Sa’ad dan Muhammad bin Sirin[17].
Berkata Al-Laits: “Dilakukan aqiqah untuk anak yang lahir pada hari ketujuh. Maka tidak mengapa
dilakukan aqiqah untuknya setelah (tanggal) itu, dan tidak harus dilakukan
aqiqah pada hari kelipatan tujuh.”[18].
Berkata Ibnu Hazm: “Jika tidak dilakukan aqiqah pada hari
ketujuh, maka boleh dilakukan setelah itu kapan saja ada kesempatan.”[19].
Kami berpandangan bahwa pendapat ketiga ini –wallohu a’lam– adalah yang rajih. Pendapat ini juga
merupakan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan Fatwa Lajnah Daimah (No. 19599).
__________________________________________
[1] Syaikh
Al-Muhaddits
Al-‘Allamah
Abu Abdirrahman
Syaroful Haq
Al-Azhiem
Abady Muhammad Asyrof bin Amir bin Aly bin Haidar
As-Shiddiqy
rahimahulloh.
Sumber:http://abdulhakimmuhammadmukhlish.blogspot.co.id/2012/10/hukum-aqiqah-setelah-hari-ketujuh_22.html dengan editing seperlunya