Selamat datang, ahlan wa sahlan, welcome.... Insyaalloh Anda berkunjung di blog yang tepat, jika saat ini Anda tengah mencari penyedia layanan aqiqah yang Terpercaya, Handal, dan Profesional. Kami hadir mengemban misi membantu memudahkan segenap kaum muslimin dalam menjalankan ibadah aqiqah. Semoga Allah jalla wa 'alaa memudahkan Anda dalam melaksanakan ibadah aqiqah, serta menjadikan buah hati Anda menjadi anak yang shalih, sehat, dan cerdas dunia-akhirat, aaamiiin....
Sabtu, 17 Maret 2018
MUQADDIMAH
Aqiqah adalah sesuatu yang penting. Sebab ia bagian dari syariat Islam yang diperintahkan atau dianjurkan untuk dilaksanakan oleh mereka yang baru beroleh keturunan, sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas anugerah yang Allah berikan kepadanya itu. Semoga blog ini bermanfaat buat kita semua ....
HARGA PAKET NASI BOX
Harga: Rp. 12.000; Isi: nasi putih, tumis bihun, kerupuk udang, acar, pisang/puding, tool makan.
Paket B
Harga: Rp. 15.000; Isi: nasi putih, telur balado, tumis bihun, kerupuk udang, acar, pisang/puding dan tool makan.
Paket C
Harga: 22.000; Isi: nasi putih, ayam goreng, telur balado, tumis bihun, kerupuk udang, acar, pisang/puding dan tool makan.
Paket D (Nasi Kebuli)
Harga: 20.000; Isi: nasi kebuli, sambal goreng kentang, emping, acar, pisang/puding dan tool makan.
CONTOH DOMBA TYPE C DAN KAMBING GULING
HARGA KAMBING GULING
Type C: porsi 50 orang : Rp. 2.200.000
Type D: porsi 60 orang : Rp. 2.300.000
Type E: porsi 70 orang : Rp. 2.400.000
HUBUNGI KAMI
Kantor Pusat
Jl. Cibiru Raya No. 38 Cibiru Hilir
Cileunyi, Bandung HP: 0813 9526 9942
Kantor Cabang
Jl. Kopo KM 7 (Kopo Sayati)
Komplek Sukamenak Indah Blok S No. 27 (Depan Kantor Pos)
Sukamenak, Margahayu, Bandung
Call/WA: 0823 2119 1322
Kandang
Jl. Galumpit No. 100 Cileunyi Kulon
Cileunyi, Bandung
Jl. Cibiru Raya No. 38 Cibiru Hilir
Cileunyi, Bandung HP: 0813 9526 9942
Kantor Cabang
Jl. Kopo KM 7 (Kopo Sayati)
Komplek Sukamenak Indah Blok S No. 27 (Depan Kantor Pos)
Sukamenak, Margahayu, Bandung
Call/WA: 0823 2119 1322
Kandang
Jl. Galumpit No. 100 Cileunyi Kulon
Cileunyi, Bandung
Jumat, 16 Maret 2018
DEFINISI DAN HUKUM AQIQAH
1.
Definisi Aqiqah
Secara
bahasa, aqiqah berasal dari kata 'aqqo-ya'uqqu (يعق عق -)
yang berarti memotong, merobek, membelah. Maksud "memotong" disini
adalah memotong (mencukur) rambut bayi. Maksud lainnya adalah memotong
(menyembelih) domba/kambing karena kelahiran bayi.
Adapun
definisi aqiqah secara istilah, ada beberapa penjelasan, di antaranya sebagai
berikut:
a.
Ibnu Qayyim menukil perkataan Abu ‘Ubaid bahwasanya Al-Ashma’iy dan lainnya
berkata: “Pada asalnya makna aqiqah itu adalah rambut bawaan yang ada di kepala
bayi ketika lahir.” Hanya saja istilah ini disebutkan untuk kambing yang
disembelih ketika aqiqah, karena rambut bayi dicukur ketika kambing tersebut
disembelih. (Tuhfatul Maudud Fi Ahkamil Maulud oleh Ibnu Qayyim hlm.
33-34, tahqiq oleh Abdul Mun’im Al-Ani, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet. 1/1403,
Beirut).
b. Al-Jauhari
mengatakan: “Aqiqah adalah menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur
rambutnya.” Selanjutnya Ibnu Qayyim berkata: “Dari penjelasan ini jelaslah
bahwa aqiqah itu disebutkan demikian karena mengandung dua unsur di atas, dan
ini lebih utama.” (Tuhfatul Maudud Fi Ahkamil Maulud oleh Ibnu Qayyim
hlm. 35-36, tahqiq oleh Abdul Mun’im Al-Ani, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet.
1/1403, Beirut).
c.
Oleh karena itu, definisi aqiqah secara syar’i yang paling tepat adalah hewan
yang disembelih karena kelahiran seorang bayi, sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Allah ta’ala dengan niat dan syarat-syarat tertentu. (Shahih Fiqhis
Sunnah oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, 2/380, Al-Maktabah
At-Taufiqiyyah, Cairo)
2.
Hukum Aqiqah
Aqiqah
menurut pendapat yang paling kuat, hukumnya adalah sunnah muakkadah,
inilah pendapat jumhur ulama. Hal ini berdasarkan anjuran dari Rasulullah saw. dan
praktek langsung oleh beliau saw..
Rasulullah
saw. bersabda:
“Bersama
seorang anak ada aqiqahnya, maka alirkanlah darah (hewan aqiqah) darinya dan
bersihkanlah kotoran darinya (cukurlah rambut kepalanya).” (HR. Ahmad, Bukhari
dan Ash-habussunan)
Beliau saw.
juga bersabda:
“Barangsiapa
di antara kalian ingin menyembelihkan (aqiqah) bagi anaknya, maka silahkan
lakukan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i dengan sanad hasan)
Dalam Hadits dikatakan: “ingin
menyembelihkan”, ini menjadi dalil yang memalingkan perintah yang asalnya wajib
menjadi sunnah.
Sumber: https://bunayya.id/pengertian-aqiqah/
dengan editing seperlunya
Rabu, 14 Maret 2018
BERQURBAN SEBELUM DIAQIQAHI, SAHKAH?
Diantara yang sempat membuat resah masyarakat, adalah munculya pemahaman yang tersebar di tengah mereka bahwa berqurban sebelum aqiqah, status qurbannya tidak sah. Allahu a’lam, sungguh kami tidak pernah tahu, dari mana pemahaman ini berasal.
Berikut beberapa catatan untuk menjawab hukum berqurban, bagi mereka yang belum diaqiqahi orang tuanya?
Pertama, bahwa berqurban dan aqiqah adalah dua kewajiban yang berbeda. Dan keduanya tidak memiliki hubungan sebab akibat. Dalam arti, aqiqah bukan syarat sah qurban, dan demikian pula sebaliknya.
Tidak sebagaimana shalat dan wudhu. Keduanya ibadah yang terpisah, namun wudhu menjadi syarat sah shalat. Dalilnya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ
“Tidak ada shalat kecuali dengan thoharoh. (HR. Muslim 224)
Untuk menyebut amal A merupakan syarat amal B, semua butuh dalil. Sementara kami tidak mengetahui adanya dalil bahwa aqiqah adalah syarat sah qurban.
Kedua, bahwa aqiqah dan berqurban, yang bertanggung jawab berbeda. Aqiqah merupakan tanggung jawab ayah (orang tua) untuk anaknya. sementara qurban, tanggung jawab mereka yang hendak berqurban.
Karena itu, ketika si A belum diaqiqahi ayahnya, kemudian di tahun ini si A hendak berqurban, maka dia tidak bertanggung jawab untuk aqiqah terlebih dahulu, sebelum berqurban. Karena aqiqah, tanggung jawab ayahnya, dan bukan tanggung jawab si A. Sementara yang menjadi tanggung jawab si A adalah ibadah qurban yang akan dia laksanakan.
Al-Khallal meriwayatkan dari Ismail bin Said as-Syalinji, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ أَحْمَدَ عَنِ الرَّجُلِ يُخْبِرُهُ وَالِدُهُ أَنَّهُ لَمْ يَعُقَّ عَنْهُ ، هَلْ يَعُقُّ عَنْ نَفْسِهِ ؟ قَالَ : ذَلِكَ عَلَى الْأَبِ
Saya bertanya kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang diberi-tahu orang tuanya, bahwa dirinya belum diaqiqahi. Bolehkah orang ini mengaqiqahi dirinya sendiri? Kata Ahmad, “Itu tanggung jawab ayahnya.” (Tuhfatul Maudud, hlm. 58).
Ketiga, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, kemudian ketika dewasa dia hendak berqurban, maka sembelihan qurban yang dia lakukan, sudah mewakili aqiqah untuk dirinya.
Al-Khallal menyebutkan riwayat keterangan dari Imam Ahmad,
ذكر أبو عبد الله أن بعضهم قال فإن ضحى أجزأ عن العقيقة
ِAbu Abdillah (Imam Ahmad) menyebutkan bahwa sebagian ulama mengatakan, “Jika seseorang menyembelih qurban, maka sudah bisa mewakili aqiqahnya.”
وأخبرنا عصمة بن عصام حدثنا حنبل أن أبا عبد الله قال : أرجو أن تجزىء الأضحية عن العقيقة إن شاء الله تعالى لمن لم يعق
Kami mendapatkan berita dari Ishmah binn Isham, dari Hambal (keponakan Imam Ahmad), bahwa Imam Ahmad pernah mengatakan, “Saya berharap, semoga qurban bisa mewakili aqiqah, insyaaAllah, bagi orang yang belum diaqiqahi.” (Tuhfatul Maudud, hlm. 58)
Dari penjelasan di atas, tidak jadi masalah ketika orang yang belum diaqiqahi sewaktu kecil, boleh melakukan qurban. Karena aqiqah bukan syarat sah qurban.
Demikian.. Allahu a’lam
Selasa, 13 Maret 2018
MENGGABUNGKAN AQIQAH DAN QURBAN, BOLEHKAH ???
Mengenai permasalahan ini, para
ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama: Udh-hiyah (qurban) tidak boleh
digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Alasan dari pendapat
pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang
tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan dalam rangka
mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban mensyukuri nikmat
hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul
Adha).[1]
Al Haitami –salah seorang
ulama Syafi’iyah- mengatakan, “Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk
qurban dan ‘aqiqah sekaligus maka keduanya sama-sama tidak teranggap. Inilah
yang lebih tepat karena maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.”[2]
Ibnu Hajar Al Haitami Al
Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab
kami sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan
qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah
dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya, pen). Begitu
pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban)
sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak
yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah
dilaksanakan untuk mendoakannya.”[3]
Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat
ini, boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya.
Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat
Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah.
Al Hasan Al Bashri
mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban, maka qurban
tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan,
“Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.”[4]
Al Bahuti –seorang ulama
Hambali- mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan
dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya
bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah sekaligus dengan
niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana
jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan mandi jum’at
sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.”[5]
Pendapat ini juga dipilih
oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau
mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu
sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban
itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.
Sebagian mereka yang
berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu
diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak
disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga
langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.”[6] Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika
qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah.
Jalan Keluar dari Masalah
Syaikh Muhammad bin Sholih
Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban)
dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak?
Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama
berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak,
kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan
aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula
jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak
perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua
ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang
sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya.
Akan tetapi, saya sendiri
berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan
dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah
beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan
dua kambing (jika anaknya laki-laki).”[8]
Kesimpulan
- Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama
yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak
diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan
qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya.
Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang
ada.
- Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka
sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban.
- Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya
laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus
laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing
(bagi anak perempuan).
- Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka
yang lebih didahulukan adalah ibadah udh-hiyah (qurban) karena waktunya
bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan
rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.
Wallahu a’lam bish showab.
Sumber : https://rumaysho.com/635-bolehkah-satu-sembelihan-untuk-qurban-dan-aqiqah.html
dengan editing seperlunya
[1] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al
Kuwaitiyyah, 2/1526, Multaqo Ahlul Hadits.
[2] Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj,
41/172, Mawqi’ Al Islam.
[3] Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro,
9/420, Mawqi’ Al Islam
[4] Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah,
5/116, Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, 1409 H.
[5] Syarh Muntahal Irodaat,
4/146, Mawqi’ Al Islam.
[6] Fatawa wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/136,
Asy Syamilah
[8] Majmu’ Fatawa wa Rosail Al
‘Utsaimin, 25/287-288, Darul Wathon-Dar Ats Tsaroya, cetakan
terakhir, tahun 1413 H.
Mengenai permasalahan ini, para
ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama: Udh-hiyah (qurban) tidak boleh
digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Alasan dari pendapat
pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang
tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan dalam rangka
mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban mensyukuri nikmat
hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul
Adha).[1]
Al Haitami –salah seorang
ulama Syafi’iyah- mengatakan, “Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk
qurban dan ‘aqiqah sekaligus maka keduanya sama-sama tidak teranggap. Inilah
yang lebih tepat karena maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.”[2]
Ibnu Hajar Al Haitami Al
Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab
kami sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan
qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah
dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya, pen). Begitu
pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban)
sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak
yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah
dilaksanakan untuk mendoakannya.”[3]
Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat
ini, boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya.
Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat
Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah.
Al Hasan Al Bashri
mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban, maka qurban
tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan,
“Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.”[4]
Al Bahuti –seorang ulama
Hambali- mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan
dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya
bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah sekaligus dengan
niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana
jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan mandi jum’at
sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.”[5]
Pendapat ini juga dipilih
oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau
mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu
sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban
itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.
Sebagian mereka yang
berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu
diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak
disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga
langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.”[6] Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika
qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah.
Jalan Keluar dari Masalah
Syaikh Muhammad bin Sholih
Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban)
dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak?
Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama
berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak,
kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan
aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula
jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak
perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua
ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang
sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya.
Akan tetapi, saya sendiri
berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan
dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah
beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan
dua kambing (jika anaknya laki-laki).”[8]
Kesimpulan
- Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada.
- Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban.
- Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan).
- Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih didahulukan adalah ibadah udh-hiyah (qurban) karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.
Wallahu a’lam bish showab.
Sumber : https://rumaysho.com/635-bolehkah-satu-sembelihan-untuk-qurban-dan-aqiqah.html
dengan editing seperlunya
[1] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al
Kuwaitiyyah, 2/1526, Multaqo Ahlul Hadits.
[2] Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj,
41/172, Mawqi’ Al Islam.
[3] Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro,
9/420, Mawqi’ Al Islam
[4] Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah,
5/116, Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, 1409 H.
[5] Syarh Muntahal Irodaat,
4/146, Mawqi’ Al Islam.
[6] Fatawa wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/136,
Asy Syamilah
[8] Majmu’ Fatawa wa Rosail Al
‘Utsaimin, 25/287-288, Darul Wathon-Dar Ats Tsaroya, cetakan
terakhir, tahun 1413 H.
DO'A KETIKA MENYEMBELIH AQIQAH
Disunnahkan saat menyembelih hewan aqiqah untuk membaca:
بِسْمِ اللهِ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ ، هَذِهِ عَقِيقَةُ فُلَان
Bismillaah, Alloohu Akbar. Alloohumma mingka wa lak. Haadzihii ‘aqiiqotu
fulaan
“Dengan (menyebut) nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah ini (hewan
aqiqah karunia) dari-Mu dan (disembelih dalam rangka ibadah kepada)-Mu. Ini
adalah aqiqah fulan.”
Catatan: Lafazh ‘fulan’ agar diganti dengan nama anak yang
diaqiqahi.
Dasarnya adalah Hadits yang diriwayatkan Al-Baihaqy dalam As-Sunan
Al-Kubro dan Abu Ya’la dalam Musnadnya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: يُعَقُّ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ، قَالَتْ عَائِشَةُ: فَعَقَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ شَاتَيْنِ شَاتَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ ، وَأَمَرَ أَنْ يُمَاطَ عَنْ رَأْسِهِ الْأَذَى وَقَالَ: اذْبَحُوا عَلَى اسْمِهِ وَقُولُوا بِسْمِ اللهِ، اللهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ ، هَذِهِ عَقِيقَةُ فُلاَنٍ
Dari Aisyah ia berkata: “Anak laki-laki diaqiqahi dengan 2
kambing yang setara, sedang anak perempuan (diaqiqahi) dengan 1 kambing.”
Aisyah berkata lagi: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaqiqahi Hasan
dan Husain masing-masing dengan 2 kambing pada hari ke-7 (dari kelahiran).
Beliau memerintahkan agar kepala anak itu dibersihkan dari kotoran. Dan beliau
bersabda: ‘Sembelihlah dengan menyebutkan namanya (nama anak yang diaqiqahi).
Ucapkan oleh kalian: ‘Bismillaah, Alloohu Akbar, Alloohumma mingka wa lak. Haadzihii
‘aqiiqotu fulaan.’’”
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnus Sakan dan dinyatakan hasan
oleh An-Nawawiy dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab. Diriwayatkan juga
oleh Ibnul Mundzir dan dinyatakan hasan.
Hal ini juga ditunjang oleh pendapat seorang Tabi’in yang
bernama Qatadah, yang menyatakan:
يُسَمِّى عَلَى الْعَقِيقَةِ كَمَا يُسَمِّى عَلَى الْأُضْحِيَّةِ : بِسْمِ اللهِ ، عَقِيقَةُ فُلَانٍ
“Membaca basmalah ketika menyembelih hewan aqiqah
sebagaimana membaca basmalah ketika menyembelih hewan qurban. Yakni
mengucapkan: ‘Bismillaah, aqiiqotu fulaan.’” (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad
shahih, para perawinya adalah rijal al-Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah juga menyebutkan bahwa pendapat
ini adalah pendapat Imam Ahmad, dalam Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud:
ولهذا يستحب أن يقال عليها ما يقال على الأضحية قال أبو طالب سألت أبا عبد الله إذا أراد الرجل أن يعق كيف يقول قال يقول باسم الله ويذبح على النية كما يضحي بنيته يقول هذه عقيقة فلان بن فلان ولهذا يقول فيها اللهم منك ولك ويستحب فيها ما يستحب في الأضحية
“Karena itu, ketika menyembelih hewan aqiqah disunnahkan untuk
mengucapkan seperti yang diucapkan ketika menyembelih hewan qurban. Abu Tholib
berkata: ‘Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal): ‘Jika seseorang hendak
menyembelih hewan aqiqah, apa yang dibacanya?’ Beliau menjawab: ‘Ia mengucapkan
Bismillaah dan menyembelih dengan menyertakan niat sebagaimana ketika
menyembelih hewan qurban. Ia (si penyembelih) berkata: Haadzihii aqiiqotu
fulaan ibni fulaan. Karena itu, saat menyembelih hendaklah ia mengucapkan: Alloohumma
mingka wa lak. Saat menyembelih hewan aqiqah dianjurkan melakukan sesuatu
sebagaimana yang dianjurkan ketika menyembelih hewan qurban.’” (Tuhfatul
Maudud fi Ahkamil Maulud, 1/70).
Namun kalaupun seseorang hanya mengucapkan Bismillah saat
menyembelih aqiqah dan tidak melafadzkan niat bahwa aqiqah ini dari anak
tertentu, maka yang demikian tidak mengapa.
Ibnul Mundzir menyatakan:
وإن نوى العقيقة ولم يتكلم به أجزأه إن شاء الله
“Jika dia telah berniat aqiqah namun tidak melafazhkan niatnya,
maka yang demikian sudah cukup baginya insyaalloh (Tuhfatul Maudud fi
Ahkamil Maulud, 1/93).
Catatan:
Hadits Aisyah di atas memiliki ‘illat karena mayoritas
jalur periwayatan mengandung ‘an-‘anah dari Ibnu Juraij, hanya
periwayatan dari Ibnu Hibban dalam Shahihnya yang tidak. Ibnu Juraij,
meski beliau adalah rijal Bukhari dan Muslim namun beliau dikenal
sebagai mudallis. Namun, riwayat ini insyaalloh bisa dikuatkan
dengan riwayat yang shahih maqthu’ dari Qatadah. Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan 2 jalur periwayatan dari Qatadah, yang salah satu sanadnya shahih.
Syaikh Albany dalam kitab Qishshotul Masihid Dajjal (1/99)
mengisyaratkan bahwa riwayat shahih maqthu’ dari tabi’in hukumnya adalah
marfu’ mursal.
Sumber: http://salafy.or.id/blog/2015/01/14/bacaan-ketika-menyembelih-hewan-aqiqah/ dengan editing seperlunya
Sumber: http://salafy.or.id/blog/2015/01/14/bacaan-ketika-menyembelih-hewan-aqiqah/ dengan editing seperlunya
Minggu, 11 Maret 2018
HUKUM AQIQAH SESUDAH HARI KE-7
Para fuqoha' berbeda pandangan dalam masalah melaksanakan aqiqah sesudah hari ke-7, kepada tiga pendapat:
1. PENDAPAT PERTAMA
Hukum: Tidak boleh menyembelih aqiqah setelah lewat hari ketujuh.
2. PENDAPAT KEDUA
Hukum: boleh menyembelih aqiqah pada hari ketujuh yang kedua (hari ke- 14) dan hari ketujuh yang ketiga (hari ke-21).
3. PENDAPAT KETIGA
Hukum: boleh kapan saja dilakukan aqiqah setelah lewat hari ke-7 dengan memperhatikan jumlah kelipatan pekan.
Ulama: Ini adalah satu riwayat dalam madzhab Hanbaly, dan merupakan pendapat Abu Abdillah Al-Busyanjy dari kalangan ulama syafi’iyah. Dan dalam pendapat yang mukhtar (terpilih) menurut madzhab Syafi’iy boleh dilakukan kapan pun sesuai kemampuan walau tanpa memperhatikan kelipatan hari atau pekan.
Nash ulama: Berkata Imam Nawawy: “Madzhab kami adalah bahwa aqiqah tidak luput walau pun ditunda dari hari ketujuh, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama di antaranya adalah Aisyah, Atho’ dan Ishaq.”[13]. Disebutkan dalam Kifayatul Akhyar: “dan pendapat yang terpilih bahwa aqiqah dilakukan sebelum selesai dari nifas; jika telah terlewati maka dilakukan sebelum selesai dari susuan; jika terlewati maka dilakukan sebelum 7 tahun; dan jika terlewati maka dilakukan sebelum baligh.”[14].
1. PENDAPAT PERTAMA
Hukum: Tidak boleh menyembelih aqiqah setelah lewat hari ketujuh.
Ulama: ini yang masyhur dari madzhab Imam Malik, dan ini adalah
pendapat yang dipilih Al-Amir As-Shon’any dan Al-Mubarkafury dan penulis Aunul Ma’bud[1].
Dalil: hadits-hadits yang menyatakan bahwa aqiqah dilakukan
pada hari ketujuh yang mengandung mafhum mukholafah bahwa
tidak boleh setelah hari itu.
Nash ulama: Berkata Al-Mubarkafury: yang dhohir bahwa aqiqah telah ditentukan waktunya pada hari
ketujuh, maka pendapat Malik lah yang tampak (rajih), wallohu Ta’ala
A’lam. Adapun riwayat hari ketujuh yang kedua (hari
ke-14 ) dan hari
ketujuh yang ketiga (hari ke-21 ), adalah riwayat yang dho’if[2].
2. PENDAPAT KEDUA
Hukum: boleh menyembelih aqiqah pada hari ketujuh yang kedua (hari ke- 14) dan hari ketujuh yang ketiga (hari ke-21).
Ulama: dinukil dari A’isyah ra dan Ishaq dan ini adalah
satu pendapat dalam Madzhab Syafi’y dan satu riwayat ibnu Habib dari Imam
Malik. Adapun Al-Hafidh Ibnu Abdil Barr, maka beliau menguatkan bahwa hanya
diperbolehkan pada hari ketujuh dan hari ketujuh yang kedua (hari
ke-14), sebagaimana diriwayatkan Ibnu
Wahb dari Malik[3].Dan pendapat kedua ini juga satu riwayat
dari Imam Ahmad.
Nash ulama: Berkata Shalih bin Ahmad: “Ayahku berkata tentang aqiqah bahwa itu dilakukan pada hari ke-7, jika tidak bisa maka pada hari ke-14, jika tidak bisa maka pada hari ke-21.”[4].
Berkata Imam Tirmidzy setelah membawakan hadits Samuroh: “(Pendapat ) inilah yang diamalkan
para ulama dimana mereka menyukai penyembelihan aqiqah anak dilakukan pada hari
ke-7, jika tidak bisa maka pada hari ke-14, dan jika tidak bisa maka pada hari
ke-21.”[5].
Berkata Atho’: “Jika mereka tidak dapat melaksanakan
aqiqah pada hari ke-7 maka aku suka jika diakhirkan ke hari kelipatan 7 yang
lain.”
Berkata Ibnu Wahb dari Malikiyah: “Tidak mengapa
dilakukan aqiqah pada hari (kelipatan) 7 yang ke-3.”[6].
Dalil mereka: hadits diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dengan sanadnya:
عن عبد الله ابن بريدة عن أبيه عن النبي ص قال:
العقيقة تذبح لسبع ولأربع عشرة ولإحدى وعشرين (رواه البيهقي)
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya dari Naby saw. bersabda:
“Aqiqah itu disembelih pada hari ke-7 atau ke-14 atau ke-21.” (HR.Baihaqy)[7].
Al-Hafidh Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa Thabrany
mengeluarkan hadits ini dari riwayat Ismail bin Muslim dari Abdullah bin
Buraidah, namun Ismail dhoif dan bersendiri sebagaimana disebutkan oleh
Thabrany[8]. Maka hadits ini dhoif sebagaimana
dikatakan Syaikh Albany[9]. Akan tetapi hadits ini juga datang
secara mauquf dari Aisyah ra. sebagaimana diriwayatkan Al-Hakim dalam Mustadrok
dengan sanadnya ;
عن عطاء عن أم كرز وأبي كرز قالا : نذرت امرأة من آل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن نحرت جزورا
. فقالت عائشة رضي الله عنها
: لا بل السنة أفضل عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة تقطع جُدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق وليكن ذلك يوم السابع فإن لم يكن ففي أربعة عشر فإن لم يكن ففي إحدى وعشرين (رواه الحاكم وقال: صحيح الإسناد ,ووافقه الذهبي , 445)
Dari Atho’ dari Umm Kurz dan Aby Kurz, keduanya berkata:
“Seorang perempuan dari keluarga
Abdurrahman bin Abi Bakr bernadzar bahwa
jika istri Abdurrahman melahirkan anak (dengan selamat) ia akan menyambelih
unta. Maka Aisyah ra. Berkata: ‘Jangan, tetapi yang
sesuai Sunnahlah yang afdhol. Yakni untuk anak laki-laki 2 ekor kambing dan
untuk anak perempuan 1 ekor kambing, dipotong-potong namun tidak
dipecahkan tulangnya, sebagian dimakan dan sebagian disedekahkan.
Aqiqah tersebut hendaknya dilakukan
pada hari ke-7; jika tidak bisa, maka pada hari ke-14; dan jika tidak bisa, maka pada hari ke-21.’”
( HR. Al-Hakim, beliau berkata:
“Sanadnya shahih”, dan disepakati oleh Adz-Dzahaby )[10].
Berkata Syaikh Albany: “Semua perawinya tsiqat lagi dikenal karena seluruhnya adalah perawi Imam
Muslim selain Ibrahim bin Abdullah (dia adalah As-Sa’dy An-Naysabury dan dia shaduq sebagaimana
disebutkan oleh Adz-Dzahaby dalam Al-Mizan) dan selain Abu Abdillah Muhammad bin Yaqub As-Syaibany (ia adalah hafidh kabir
mushannif dikenal dengan nama ibnul ahzam, wafat tahun 334 H., biografinya ada dalm At-Tadzkirah 3/76-77).
Aku (Albani) berkata:
‘Atas dasar ini, dhohir hadits ini
adalah shahih, namun menurutku ia
memiliki dua illah[11]. Lalu beliau rahimahullah menyebutkan
dua illah tersebut yaitu syudzudz dan inqitho’ serta
idraaj.’”
Hujjah pendapat kedua ini adalah bahwa dalam hadits ini bahwa ini adalah
perkiraan dan dhahirnya bahwa Aisyah tidak mungkin berpendapat demikian kecuali
atas dasar tauqif (mengikuti petunjuk Nabi saw. )[12].
3. PENDAPAT KETIGA
Hukum: boleh kapan saja dilakukan aqiqah setelah lewat hari ke-7 dengan memperhatikan jumlah kelipatan pekan.
Ulama: Ini adalah satu riwayat dalam madzhab Hanbaly, dan merupakan pendapat Abu Abdillah Al-Busyanjy dari kalangan ulama syafi’iyah. Dan dalam pendapat yang mukhtar (terpilih) menurut madzhab Syafi’iy boleh dilakukan kapan pun sesuai kemampuan walau tanpa memperhatikan kelipatan hari atau pekan.
Nash ulama: Berkata Imam Nawawy: “Madzhab kami adalah bahwa aqiqah tidak luput walau pun ditunda dari hari ketujuh, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama di antaranya adalah Aisyah, Atho’ dan Ishaq.”[13]. Disebutkan dalam Kifayatul Akhyar: “dan pendapat yang terpilih bahwa aqiqah dilakukan sebelum selesai dari nifas; jika telah terlewati maka dilakukan sebelum selesai dari susuan; jika terlewati maka dilakukan sebelum 7 tahun; dan jika terlewati maka dilakukan sebelum baligh.”[14].
Dan ini adalah riwayat lain dalam Madzhab Hanbaly. Berkata Al-Mardawy:
“Perhatian, mafhum dari ucapan (jika
terlewati), yaitu tidak bisa dilakukan aqiqah pada hari ke-7, (maka pada hari ke-14, jika terlewat maka
pada hari ke-21) yakni bahwa jumlah
pekan tidak lagi diperhatikan setelah itu, maka boleh dilakukan aqiqah setelah
itu kapan saja dikehendaki. Ini adalah satu dari dua pendapat. Dan sekaligus pendapat
kebanyakan dari ulama Hanabilah dan dishahihkan oleh Ibnu Razin dalm syarh-nya. Disebutkan dalam Ar-Ri’ayah Al-Kubra: ‘Jika terlewat maka (dilakukan) pada
hari ke-21 atau setelahnya. Disebutkan dalam Al-Kafy: jika tertunda dari hari ke-21 maka boleh dilakukan setelahnya, karena telah ada sebabnya.’”[15].
Berkata Syaikh Ibnu Qudamah Al-Maqdisy:
“Jika disembelih (aqiqah) sebelumnya
atau sesudahnya maka boleh, karena tujuannya yaitu mengadakan sembelihan bisa
terjadi. Dan jika melewati hari ke-21
maka bisa dimungkinkan disukai pada
kelipatan pekan, sehingga dilakukan pada hari ke-28, jika tidak bisa
maka pada hari ke-35.
Aatas dasar inilah diqiyaskan kepada
hari yang sebelumnya. Dan kemungkinan kedua adalah diperbolehkan (mengadakan aqiqah) pada setiap
kesempatan, karena ia merupakan qodho terhadap sesuatu yang
luput. Sehingga tidak dibatasi waktunya, seperti qodho udhhiyah dan
selainnya.”[16].
Ini juga pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhahiry dan Al-Laits bin Sa’ad dan Muhammad bin Sirin[17].
Berkata Al-Laits: “Dilakukan aqiqah untuk anak yang lahir pada hari ketujuh. Maka tidak mengapa
dilakukan aqiqah untuknya setelah (tanggal) itu, dan tidak harus dilakukan
aqiqah pada hari kelipatan tujuh.”[18].
Berkata Ibnu Hazm: “Jika tidak dilakukan aqiqah pada hari
ketujuh, maka boleh dilakukan setelah itu kapan saja ada kesempatan.”[19].
Kami berpandangan bahwa pendapat ketiga ini –wallohu a’lam– adalah yang rajih. Pendapat ini juga
merupakan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan Fatwa Lajnah Daimah (No. 19599).
__________________________________________
[1] Syaikh
Al-Muhaddits
Al-‘Allamah
Abu Abdirrahman
Syaroful Haq
Al-Azhiem
Abady Muhammad Asyrof bin Amir bin Aly bin Haidar
As-Shiddiqy
rahimahulloh.
Sumber:http://abdulhakimmuhammadmukhlish.blogspot.co.id/2012/10/hukum-aqiqah-setelah-hari-ketujuh_22.html dengan editing seperlunya
Langganan:
Postingan (Atom)