Rabu, 25 Agustus 2021

PEMBERITAHUAN

Sejak 7 Oktober 2020, kami pindah alamat ke alamat baru yakni ke Sukamenak Indah S-20 (depan Kantor Pos), tidak jauh dari alamat lama. No. Kontak tetap di 0823 2119 1322. Terima Kasih.

Sabtu, 17 Maret 2018

MUQADDIMAH

Aqiqah adalah sesuatu yang penting. Sebab ia bagian dari syariat Islam yang diperintahkan atau dianjurkan untuk dilaksanakan oleh mereka yang baru beroleh keturunan, sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas anugerah yang Allah berikan kepadanya itu. Semoga blog ini bermanfaat buat kita semua ....

SATE GULE NASI BOX




HARGA PAKET NASI BOX


Paket A
Harga: Rp. 12.000;  Isi: nasi putih, tumis bihun, kerupuk udang, acar, pisang/puding, tool makan.

Paket B

Harga: Rp. 15.000; Isi: nasi putih, telur balado, tumis bihun, kerupuk udang, acar, pisang/puding dan tool makan.

Paket C

Harga: 22.000; Isi: nasi putih, ayam goreng, telur balado, tumis bihun, kerupuk udang, acar, pisang/puding dan tool makan.

Paket D (Nasi Kebuli)
Harga: 20.000; Isi: nasi kebuli, sambal goreng kentang, emping, acar, pisang/puding dan tool makan.

CONTOH DOMBA TYPE C DAN KAMBING GULING





HARGA KAMBING GULING

Type C: porsi 50 orang : Rp. 2.200.000
Type D: porsi 60 orang : Rp. 2.300.000
Type E: porsi 70 orang : Rp. 2.400.000

CONTOH DOKUMENTASI PENYEMBELIHAN


HUBUNGI KAMI

Kantor Pusat
Jl. Cibiru Raya No. 38 Cibiru Hilir
Cileunyi, Bandung HP: 0813 9526 9942

Kantor Cabang
Jl. Kopo KM 7 (Kopo Sayati)
Komplek Sukamenak Indah Blok S  No. 27 (Depan Kantor Pos)
Sukamenak, Margahayu, Bandung
Call/WA: 0823 2119 1322

Kandang

Jl. Galumpit No. 100 Cileunyi Kulon
Cileunyi, Bandung

Jumat, 16 Maret 2018

DEFINISI DAN HUKUM AQIQAH


1. Definisi Aqiqah
Secara bahasa, aqiqah berasal dari kata 'aqqo-ya'uqqu (يعق عق -) yang berarti memotong, merobek, membelah. Maksud "memotong" disini adalah memotong (mencukur) rambut bayi. Maksud lainnya adalah memotong (menyembelih) domba/kambing karena kelahiran bayi.
Adapun definisi aqiqah secara istilah, ada beberapa penjelasan, di antaranya sebagai berikut:
a. Ibnu Qayyim menukil perkataan Abu ‘Ubaid bahwasanya Al-Ashma’iy dan lainnya berkata: “Pada asalnya makna aqiqah itu adalah rambut bawaan yang ada di kepala bayi ketika lahir.” Hanya saja istilah ini disebutkan untuk kambing yang disembelih ketika aqiqah, karena rambut bayi dicukur ketika kambing tersebut disembelih. (Tuhfatul Maudud Fi Ahkamil Maulud oleh Ibnu Qayyim hlm. 33-34, tahqiq oleh Abdul Mun’im Al-Ani, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet. 1/1403, Beirut).
b. Al-Jauhari mengatakan: “Aqiqah adalah menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya.” Selanjutnya Ibnu Qayyim berkata: “Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebutkan demikian karena mengandung dua unsur di atas, dan ini lebih utama.” (Tuhfatul Maudud Fi Ahkamil Maulud oleh Ibnu Qayyim hlm. 35-36, tahqiq oleh Abdul Mun’im Al-Ani, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet. 1/1403, Beirut).
c. Oleh karena itu, definisi aqiqah secara syar’i yang paling tepat adalah hewan yang disembelih karena kelahiran seorang bayi, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah ta’ala dengan niat dan syarat-syarat tertentu. (Shahih Fiqhis Sunnah oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, 2/380, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, Cairo)
2. Hukum Aqiqah
Aqiqah menurut pendapat yang paling kuat, hukumnya adalah sunnah muakkadah, inilah pendapat jumhur ulama. Hal ini berdasarkan anjuran dari Rasulullah saw. dan praktek langsung oleh beliau saw..
Rasulullah saw. bersabda:
“Bersama seorang anak ada aqiqahnya, maka alirkanlah darah (hewan aqiqah) darinya dan bersihkanlah kotoran darinya (cukurlah rambut kepalanya).” (HR. Ahmad, Bukhari dan Ash-habussunan)
Beliau saw. juga bersabda:
“Barangsiapa di antara kalian ingin menyembelihkan (aqiqah) bagi anaknya, maka silahkan lakukan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i dengan sanad hasan)
Dalam Hadits dikatakan: “ingin menyembelihkan”, ini menjadi dalil yang memalingkan perintah yang asalnya wajib menjadi sunnah.

Sumber: https://bunayya.id/pengertian-aqiqah/ dengan editing seperlunya

Rabu, 14 Maret 2018

BERQURBAN SEBELUM DIAQIQAHI, SAHKAH?

Diantara yang sempat membuat resah masyarakat, adalah munculya pemahaman yang tersebar di tengah mereka bahwa berqurban sebelum aqiqah, status qurbannya tidak sah. Allahu a’lam, sungguh kami tidak pernah tahu, dari mana pemahaman ini berasal.
Berikut beberapa catatan untuk menjawab hukum berqurban, bagi mereka yang belum diaqiqahi orang tuanya?
Pertama, bahwa berqurban dan aqiqah adalah dua kewajiban yang berbeda. Dan keduanya tidak memiliki hubungan sebab akibat. Dalam arti, aqiqah bukan syarat sah qurban, dan demikian pula sebaliknya.
Tidak sebagaimana shalat dan wudhu. Keduanya ibadah yang terpisah, namun wudhu menjadi syarat sah shalat. Dalilnya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ
“Tidak ada shalat kecuali dengan thoharoh. (HR. Muslim 224)
Untuk menyebut amal A merupakan syarat amal B, semua butuh dalil. Sementara kami tidak mengetahui adanya dalil bahwa aqiqah adalah syarat sah qurban.
Kedua, bahwa aqiqah dan berqurban, yang bertanggung jawab berbeda. Aqiqah merupakan tanggung jawab ayah (orang tua) untuk anaknya. sementara qurban, tanggung jawab mereka yang hendak berqurban.
Karena itu, ketika si A belum diaqiqahi ayahnya, kemudian di tahun ini si A hendak berqurban, maka dia tidak bertanggung jawab untuk aqiqah terlebih dahulu, sebelum berqurban. Karena aqiqah, tanggung jawab ayahnya, dan bukan tanggung jawab si A. Sementara yang menjadi tanggung jawab si A adalah ibadah qurban yang akan dia laksanakan.
Al-Khallal meriwayatkan dari Ismail bin Said as-Syalinji, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ أَحْمَدَ عَنِ الرَّجُلِ يُخْبِرُهُ وَالِدُهُ أَنَّهُ لَمْ يَعُقَّ عَنْهُ ، هَلْ يَعُقُّ عَنْ نَفْسِهِ ؟ قَالَ : ذَلِكَ عَلَى الْأَبِ
Saya bertanya kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang diberi-tahu orang tuanya, bahwa dirinya belum diaqiqahi. Bolehkah orang ini mengaqiqahi dirinya sendiri? Kata Ahmad, “Itu tanggung jawab ayahnya.” (Tuhfatul Maudud, hlm. 58).
Ketiga, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, kemudian ketika dewasa dia hendak berqurban, maka sembelihan qurban yang dia lakukan, sudah mewakili aqiqah untuk dirinya.
Al-Khallal menyebutkan riwayat keterangan dari Imam Ahmad,
ذكر أبو عبد الله أن بعضهم قال فإن ضحى أجزأ عن العقيقة
ِAbu Abdillah (Imam Ahmad) menyebutkan bahwa sebagian ulama mengatakan, “Jika seseorang menyembelih qurban, maka sudah bisa mewakili aqiqahnya.”
وأخبرنا عصمة بن عصام حدثنا حنبل أن أبا عبد الله قال : أرجو أن تجزىء الأضحية عن العقيقة إن شاء الله تعالى لمن لم يعق
Kami mendapatkan berita dari Ishmah binn Isham, dari Hambal (keponakan Imam Ahmad), bahwa Imam Ahmad pernah mengatakan, “Saya berharap, semoga qurban bisa mewakili aqiqah, insyaaAllah, bagi orang yang belum diaqiqahi.” (Tuhfatul Maudud, hlm. 58)
Dari penjelasan di atas, tidak jadi masalah ketika orang yang belum diaqiqahi sewaktu kecil, boleh melakukan qurban. Karena aqiqah bukan syarat sah qurban.
Demikian.. Allahu a’lam
Sumber: https://konsultasisyariah.com/28188-berqurban-sebelum-aqiqah-tidak-sah.html dengan editing seperlunya

Selasa, 13 Maret 2018

MENGGABUNGKAN AQIQAH DAN QURBAN, BOLEHKAH ???

Mengenai permasalahan ini, para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertamaUdh-hiyah (qurban) tidak boleh digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Alasan dari pendapat pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha).[1]
Al Haitami –salah seorang ulama Syafi’iyah- mengatakan, “Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk qurban dan ‘aqiqah sekaligus maka keduanya sama-sama tidak teranggap. Inilah yang lebih tepat karena maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.”[2]
Ibnu Hajar Al Haitami Al Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab kami sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya, pen).  Begitu pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban) sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah dilaksanakan untuk mendoakannya.”[3]
Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat ini, boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya. Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban, maka qurban tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.”[4]
Al Bahuti –seorang ulama Hambali- mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah sekaligus dengan niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan mandi jum’at sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.”[5]
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.
Sebagian mereka yang berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.”[6] Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah.
Jalan Keluar dari Masalah
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak?
Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya.
Akan tetapi, saya sendiri berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki-laki).”[8]

Kesimpulan
  1. Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada.
  2. Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban.
  3. Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan).
  4. Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih didahulukan adalah ibadah udh-hiyah (qurban) karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.
Wallahu a’lam bish showab.
[1] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526, Multaqo Ahlul Hadits.
[2] Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj, 41/172, Mawqi’ Al Islam.
[3] Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, 9/420, Mawqi’ Al Islam
[4] Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 5/116, Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, 1409 H.
[5] Syarh Muntahal Irodaat, 4/146, Mawqi’ Al Islam.
[6] Fatawa wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/136, Asy Syamilah
[8] Majmu’ Fatawa wa Rosail Al ‘Utsaimin, 25/287-288, Darul Wathon-Dar Ats Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.

DO'A KETIKA MENYEMBELIH AQIQAH

Disunnahkan saat menyembelih hewan aqiqah untuk membaca:
بِسْمِ اللهِ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ ، هَذِهِ عَقِيقَةُ فُلَان
Bismillaah, Alloohu Akbar. Alloohumma mingka wa lak. Haadzihii ‘aqiiqotu fulaan
“Dengan (menyebut) nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah ini (hewan aqiqah karunia) dari-Mu dan (disembelih dalam rangka ibadah kepada)-Mu. Ini adalah aqiqah fulan.”
Catatan: Lafazh ‘fulan’ agar diganti dengan nama anak yang diaqiqahi.
Dasarnya adalah Hadits yang diriwayatkan Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro dan Abu Ya’la dalam Musnadnya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: يُعَقُّ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ، قَالَتْ عَائِشَةُ: فَعَقَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ شَاتَيْنِ شَاتَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ ، وَأَمَرَ أَنْ يُمَاطَ عَنْ رَأْسِهِ الْأَذَى وَقَالَ: اذْبَحُوا عَلَى اسْمِهِ وَقُولُوا بِسْمِ اللهِ، اللهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ ، هَذِهِ عَقِيقَةُ فُلاَنٍ
Dari Aisyah ia berkata: “Anak laki-laki diaqiqahi dengan 2 kambing yang setara, sedang anak perempuan (diaqiqahi) dengan 1 kambing.” Aisyah berkata lagi: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaqiqahi Hasan dan Husain masing-masing dengan 2 kambing pada hari ke-7 (dari kelahiran). Beliau memerintahkan agar kepala anak itu dibersihkan dari kotoran. Dan beliau bersabda: ‘Sembelihlah dengan menyebutkan namanya (nama anak yang diaqiqahi). Ucapkan oleh kalian: ‘Bismillaah, Alloohu Akbar, Alloohumma mingka wa lak. Haadzihii ‘aqiiqotu fulaan.’’”
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnus Sakan dan dinyatakan hasan oleh An-Nawawiy dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab. Diriwayatkan juga oleh Ibnul Mundzir dan dinyatakan hasan.
Hal ini juga ditunjang oleh pendapat seorang Tabi’in yang bernama Qatadah, yang menyatakan:
يُسَمِّى عَلَى الْعَقِيقَةِ كَمَا يُسَمِّى عَلَى الْأُضْحِيَّةِ : بِسْمِ اللهِ ، عَقِيقَةُ فُلَانٍ
“Membaca basmalah ketika menyembelih hewan aqiqah sebagaimana membaca basmalah ketika menyembelih hewan qurban. Yakni mengucapkan: ‘Bismillaah, aqiiqotu fulaan.’” (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih, para perawinya adalah rijal al-Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah juga menyebutkan bahwa pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, dalam Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud:
ولهذا يستحب أن يقال عليها ما يقال على الأضحية قال أبو طالب سألت أبا عبد الله إذا أراد الرجل أن يعق كيف يقول قال يقول باسم الله ويذبح على النية كما يضحي بنيته يقول هذه عقيقة فلان بن فلان ولهذا يقول فيها اللهم منك ولك ويستحب فيها ما يستحب في الأضحية
“Karena itu, ketika menyembelih hewan aqiqah disunnahkan untuk mengucapkan seperti yang diucapkan ketika menyembelih hewan qurban. Abu Tholib berkata: ‘Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal): ‘Jika seseorang hendak menyembelih hewan aqiqah, apa yang dibacanya?’ Beliau menjawab: ‘Ia mengucapkan Bismillaah dan menyembelih dengan menyertakan niat sebagaimana ketika menyembelih hewan qurban. Ia (si penyembelih) berkata: Haadzihii aqiiqotu fulaan ibni fulaan. Karena itu, saat menyembelih hendaklah ia mengucapkan: Alloohumma mingka wa lak. Saat menyembelih hewan aqiqah dianjurkan melakukan sesuatu sebagaimana yang dianjurkan ketika menyembelih hewan qurban.’” (Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, 1/70).
Namun kalaupun seseorang hanya mengucapkan Bismillah saat menyembelih aqiqah dan tidak melafadzkan niat bahwa aqiqah ini dari anak tertentu, maka yang demikian tidak mengapa.
Ibnul Mundzir menyatakan:
وإن نوى العقيقة ولم يتكلم به أجزأه إن شاء الله
“Jika dia telah berniat aqiqah namun tidak melafazhkan niatnya, maka yang demikian sudah cukup baginya insyaalloh (Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, 1/93).
Catatan:
Hadits Aisyah di atas memiliki ‘illat karena mayoritas jalur periwayatan mengandung ‘an-‘anah dari Ibnu Juraij, hanya periwayatan dari Ibnu Hibban dalam Shahihnya yang tidak. Ibnu Juraij, meski beliau adalah rijal Bukhari dan Muslim namun beliau dikenal sebagai mudallis. Namun, riwayat ini insyaalloh bisa dikuatkan dengan riwayat yang shahih maqthu’ dari Qatadah. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan 2 jalur periwayatan dari Qatadah, yang salah satu sanadnya shahih. Syaikh Albany dalam kitab Qishshotul Masihid Dajjal (1/99) mengisyaratkan bahwa riwayat shahih maqthu’ dari tabi’in hukumnya adalah marfu’ mursal.

Sumber: http://salafy.or.id/blog/2015/01/14/bacaan-ketika-menyembelih-hewan-aqiqah/ dengan editing seperlunya

Minggu, 11 Maret 2018

HUKUM AQIQAH SESUDAH HARI KE-7

Para fuqoha' berbeda pandangan dalam masalah melaksanakan aqiqah sesudah hari ke-7, kepada tiga pendapat:

1. PENDAPAT PERTAMA
Hukum: Tidak boleh menyembelih aqiqah setelah lewat hari ketujuh.
Ulama: ini yang masyhur dari madzhab Imam Malik, dan ini adalah pendapat yang dipilih Al-Amir As-Shon’any dan Al-Mubarkafury dan penulis Aunul Ma’bud[1].
Dalil: hadits-hadits yang menyatakan bahwa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh yang mengandung mafhum mukholafah bahwa tidak boleh setelah hari itu.
Nash ulama:   Berkata Al-Mubarkafury: yang dhohir bahwa aqiqah telah ditentukan waktunya pada hari ketujuh, maka pendapat  Malik lah yang tampak (rajih), wallohu Ta’ala A’lam. Adapun riwayat hari ketujuh yang kedua (hari ke-14 ) dan hari ketujuh yang ketiga (hari ke-21 ), adalah riwayat yang dhoif[2].

2. PENDAPAT KEDUA
Hukum: boleh menyembelih aqiqah pada hari ketujuh yang kedua (hari ke- 14) dan hari ketujuh yang ketiga (hari ke-21).
Ulama: dinukil dari Aisyah ra dan Ishaq dan ini adalah satu pendapat dalam Madzhab Syafi’y dan satu riwayat ibnu Habib dari Imam Malik. Adapun Al-Hafidh Ibnu Abdil Barr, maka beliau menguatkan bahwa hanya diperbolehkan pada hari ketujuh dan hari ketujuh yang kedua (hari ke-14), sebagaimana diriwayatkan Ibnu Wahb dari Malik[3].Dan pendapat kedua ini juga satu riwayat dari Imam Ahmad.

Nash ulama: Berkata Shalih bin Ahmad: “Ayahku berkata tentang aqiqah bahwa itu dilakukan pada hari ke-7, jika tidak bisa maka pada hari ke-14, jika tidak bisa maka pada hari ke-21.”[4].
Berkata Imam Tirmidzy setelah membawakan hadits Samuroh: (Pendapat ) inilah yang diamalkan para ulama dimana mereka menyukai penyembelihan aqiqah anak dilakukan pada hari ke-7, jika tidak bisa maka pada hari ke-14, dan jika tidak bisa maka pada hari ke-21.”[5].
Berkata Atho’: “Jika mereka tidak dapat melaksanakan aqiqah pada hari ke-7 maka aku suka jika diakhirkan ke hari kelipatan 7 yang lain.”
Berkata Ibnu Wahb dari Malikiyah: “Tidak mengapa dilakukan aqiqah pada hari (kelipatan) 7 yang ke-3.”[6].

Dalil mereka: hadits diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dengan sanadnya:
عن عبد الله ابن بريدة عن أبيه عن النبي ص قال: العقيقة تذبح لسبع ولأربع عشرة ولإحدى وعشرين  (رواه البيهقي)
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya dari Naby saw. bersabda: “Aqiqah itu disembelih pada hari ke-7 atau ke-14 atau ke-21.” (HR.Baihaqy)[7].
Al-Hafidh Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa Thabrany mengeluarkan hadits ini dari riwayat Ismail bin Muslim dari Abdullah bin Buraidah, namun Ismail dhoif dan bersendiri sebagaimana disebutkan oleh Thabrany[8]. Maka hadits ini dhoif sebagaimana dikatakan Syaikh Albany[9]. Akan tetapi hadits ini juga datang secara mauquf dari Aisyah ra. sebagaimana diriwayatkan Al-Hakim dalam Mustadrok dengan sanadnya ;
عن عطاء عن أم كرز وأبي كرز قالا : نذرت امرأة من آل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن نحرت جزورا . فقالت عائشة رضي الله عنها : لا بل السنة أفضل عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة تقطع جُدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق وليكن ذلك يوم السابع فإن لم يكن ففي أربعة عشر فإن لم يكن ففي إحدى وعشرين  (رواه الحاكم وقال: صحيح الإسناد ,ووافقه الذهبي , 445)
Dari Atho’ dari Umm Kurz dan Aby Kurz, keduanya berkata: “Seorang perempuan dari keluarga Abdurrahman bin Abi Bakr bernadzar bahwa jika istri Abdurrahman melahirkan anak (dengan selamat) ia akan menyambelih unta. Maka Aisyah ra. Berkata: ‘Jangan, tetapi yang sesuai Sunnahlah yang afdhol. Yakni untuk anak laki-laki 2 ekor kambing dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing, dipotong-potong  namun tidak dipecahkan tulangnya, sebagian dimakan dan sebagian disedekahkan. Aqiqah tersebut hendaknya dilakukan pada hari ke-7; jika tidak bisa, maka pada hari ke-14; dan jika tidak bisa, maka pada hari ke-21.’” ( HR. Al-Hakim, beliau berkata: “Sanadnya shahih”, dan disepakati oleh Adz-Dzahaby )[10].
Berkata Syaikh Albany: “Semua perawinya tsiqat lagi dikenal karena seluruhnya adalah perawi Imam Muslim selain Ibrahim bin Abdullah (dia adalah As-Sa’dy An-Naysabury dan dia shaduq sebagaimana disebutkan oleh Adz-Dzahaby dalam Al-Mizan) dan selain Abu Abdillah Muhammad bin Yaqub As-Syaibany (ia adalah hafidh kabir mushannif dikenal dengan nama ibnul ahzam, wafat tahun 334 H., biografinya ada dalm At-Tadzkirah 3/76-77). Aku (Albani) berkata: ‘Atas dasar ini, dhohir hadits ini adalah shahih, namun menurutku ia memiliki dua illah[11]. Lalu beliau rahimahullah menyebutkan dua illah tersebut yaitu syudzudz dan inqitho’ serta idraaj.’”

Hujjah pendapat kedua ini adalah bahwa dalam hadits ini bahwa ini adalah perkiraan dan dhahirnya bahwa Aisyah tidak mungkin berpendapat demikian kecuali atas dasar tauqif (mengikuti petunjuk Nabi saw. )[12].

3. PENDAPAT KETIGA
Hukum: boleh kapan saja dilakukan aqiqah setelah lewat hari ke-7 dengan memperhatikan jumlah kelipatan pekan.
Ulama: Ini adalah satu riwayat dalam madzhab Hanbaly, dan merupakan pendapat Abu Abdillah Al-Busyanjy dari kalangan ulama syafi’iyah. Dan dalam pendapat yang mukhtar (terpilih) menurut madzhab Syafi’iy boleh dilakukan kapan pun sesuai kemampuan walau tanpa memperhatikan kelipatan hari atau pekan.

Nash ulama: Berkata Imam Nawawy: “Madzhab kami adalah bahwa aqiqah tidak luput walau pun ditunda dari hari ketujuh, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama di antaranya adalah Aisyah, Atho’ dan Ishaq.”[13]. Disebutkan dalam Kifayatul Akhyar: “dan  pendapat yang terpilih bahwa aqiqah dilakukan sebelum selesai dari nifas; jika telah terlewati maka dilakukan sebelum selesai dari susuan; jika terlewati maka dilakukan sebelum 7 tahun; dan jika terlewati maka dilakukan sebelum baligh.”[14].

Dan ini adalah riwayat lain dalam Madzhab Hanbaly. Berkata Al-Mardawy: “Perhatian, mafhum dari ucapan (jika terlewati), yaitu tidak bisa dilakukan aqiqah pada hari ke-7, (maka pada hari ke-14, jika terlewat maka pada hari ke-21) yakni bahwa jumlah pekan tidak lagi diperhatikan setelah itu, maka boleh dilakukan aqiqah setelah itu kapan saja dikehendaki. Ini adalah satu dari dua pendapat. Dan sekaligus pendapat kebanyakan dari ulama Hanabilah dan dishahihkan oleh Ibnu Razin dalm syarh-nya. Disebutkan dalam Ar-Ri’ayah Al-Kubra: ‘Jika terlewat maka (dilakukan) pada hari ke-21 atau setelahnya. Disebutkan dalam Al-Kafy: jika tertunda dari hari ke-21 maka boleh dilakukan setelahnya, karena telah ada sebabnya.’”[15].
Berkata Syaikh Ibnu Qudamah Al-Maqdisy: “Jika disembelih (aqiqah) sebelumnya atau sesudahnya maka boleh, karena tujuannya yaitu mengadakan sembelihan bisa terjadi. Dan jika melewati hari ke-21 maka bisa dimungkinkan disukai pada kelipatan pekan, sehingga dilakukan pada hari ke-28, jika tidak bisa maka pada hari ke-35. Aatas dasar inilah diqiyaskan kepada hari yang sebelumnya. Dan kemungkinan kedua adalah diperbolehkan (mengadakan aqiqah) pada setiap kesempatan, karena ia merupakan qodho terhadap sesuatu yang luput. Sehingga tidak dibatasi waktunya, seperti qodho udhhiyah dan selainnya.”[16].
Ini juga pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhahiry dan Al-Laits bin Saad dan Muhammad bin Sirin[17].
Berkata Al-Laits: “Dilakukan aqiqah untuk anak yang lahir pada hari ketujuh. Maka tidak mengapa dilakukan aqiqah untuknya setelah (tanggal) itu, dan tidak harus dilakukan aqiqah pada hari kelipatan tujuh.”[18].
Berkata Ibnu Hazm: “Jika tidak dilakukan aqiqah pada hari ketujuh, maka boleh dilakukan setelah itu kapan saja ada kesempatan.”[19].

Kami berpandangan bahwa pendapat ketiga ini –wallohu a’lam adalah yang rajih. Pendapat ini juga merupakan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan Fatwa Lajnah Daimah (No. 19599).
__________________________________________
[1]  Syaikh Al-Muhaddits Al-‘Allamah Abu Abdirrahman Syaroful Haq Al-Azhiem Abady Muhammad Asyrof bin Amir bin Aly bin Haidar As-Shiddiqy rahimahulloh.
[2]  Tuhfatul Ahwadzy  5/98.
[3]  Fathul Malik 7/105, Al-Majmu 8/431, Al-Mughny 9/461.
[4]  Tuhfatul Maudud hal 48, Fathul Bary 12/12.
[5]  Sunan Tirmidzy 4/86.
[6]  Fathul Malik 7/105.
[7]  Sunan Baihaqy 9/303
[8]  Fathul Bary 12/12, Majma Az-zawaid 4/59.
[9] Irwaul Ghalil 4/395.
[10] Al-Mustadrak 4/395.
[11] Irwaul Ghalil 4/395-396.
[12] Al-Mughny 9/461.
[13] Al-Majmu 8/448
[14] Kifayatul Akhyar 534.
[15] Al-Inshaf 4/112,  Al-Furu 3/564.
[16] Al-Mughny 9/461.
[17] Al-Muhalla 6/234-240, Al-Majmu 8/431, Tuhfatul Ahwadzy hal 49-50.
[18] Istidzkar 15/375.
[19] Al-Muhalla 6/234.

Sumber:http://abdulhakimmuhammadmukhlish.blogspot.co.id/2012/10/hukum-aqiqah-setelah-hari-ketujuh_22.html dengan editing seperlunya